![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
||
![]() |
![]() |
||||
|
MENANGANI TEMPER TANTRUMS Rabu, 1 Februari 2017 Seorang ibu bergegas keluar dari sebuah toko mainan di dalam mal besar di selatan Jakarta. Di belakangnya, seorang anak usia 3 tahunan mengikutinya sambil memanggil ibu tersebut �Mama, mama, mama!� dan menangis keras. Sang ibu yang dipanggil berjalan terus. Tak lama, si anak pun menghentikan langkahnya dan langsung duduk di lantai sambil terus menangis bercampur teriakan. Kedua kakinya menendang-nendang ke sana kemari. Semua orang pun berhenti memperhatikannya. Sang ibu terpaksa berbalik dan mencoba menenangkan anaknya. Tapi tak berhasil. Anak itu terus berteriak dan menendang-nendang ke arah ibunya sampai akhirnya sang ibu dengan sekuat tenaga menggendong paksa sang anak dan membawanya keluar mal. Apakah sekelumit kisah di atas tak asing bagi Anda? Anda pernah mengalaminya atau bahkan sedang mengalaminya sekarang ini? Kisah di atas merupakan salah satu contoh dari perilaku anak yang dikenal dengan sebutan temper tantrum.
Apa itu temper tantrum? Di kamus psikologi, temper diartikan sebagai anger dan tantrum adalah a violent and uncontrolled display of anger. Perilaku temper tantrum sendiri yang ditampilkan oleh anak biasa beragam, mulai dari merengek, menangis sampai berteriak dan mulai dari memukul, menendang sampai menahan nafas. Fenomena ini muncul umumnya ketika anak berusia 1 sampai 3 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan temper tantrum juga muncul sebelum dan sesudah kurun usia tersebut tapi dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda.
Mengapa anak temper tantrum? Ada berbagai jenis tantrum, tergantung dari penyebabnya. Para ahli telah banyak mencoba membagi-bagi jenisnya. Dinkmeyer dalam bukunya Parenting the Young Children, membagi menjadi dua tipe tantrum, yaitu frustration tantrum dan power tantrum. Yang pertama terjadi ketika anak merasa frustrasi akibat gagal melakukan sesuatu, misalnya tidak berhasil menyusun balok sesuai keinginannya. Tipe yang kedua, terjadi ketika anak berusaha menguasai atau mengendalikan situasi. Biasanya ini berhubungan dengan larangan, aturan atau instruksi yang dibuat orangtua, misalnya ibu menyuruh mandi dan anak menolak. Garber dalam bukunya Good behavior Made Easy, membagi tantrum dalam empat jenis dasar yang juga mengacu pada penyebabnya. Menurutnya, temper tantrum muncul ketika anak merasa lelah atau frustrasi; cari perhatian; reaksi terhadap larangan dan berusaha menghindar dari instruksi. Apapun jenisnya, ada beberapa penyebab yang mendasar antara lain keterbatasan bahasa, kemampuan ekspresi emosi dan pembentukan kemandirian. Anak usia di bawah 5 tahun belum memiliki ketrampilan berbahasa yang baik. Menginjak usia 2 tahun, anak biasanya sudah lebih mudah diajak bicara karena mereka sudah mampu memahami apa yang disampaikan kepadanya (dalam bahasa anak tentu saja). Tetapi mereka masih memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan apa yang mereka pikir atau rasa dalam bentuk verbal. Akibatnya anak akan lebih mudah menggunakan cara yang lebih dekat dengan mereka yaitu reaksi fisik seperti menangis, berguling di lantai, dan sebagainya. Karena sulit mengungkapkan keinginannya secara verbal dengan jelas, lingkungan menjadi tidak memahaminya dan anak pun jadi frustrasi lalu muncullah temper tantrum. Anak juga masih memiliki keterbatasan dalam memilih ekspresi emosi yang tepat. Kita sebagai orang dewasa sudah sangat paham kalau berteriak atau menangis di tempat umum tidaklah pantas. Tapi anak-anak belum memiliki pemahaman sedemikian. Mereka belum mampu untuk mengendalikan dorongan emosi dan masih perlu dibantu bagaimana mengekspresikannya dengan tepat. The American Academy of Pediatrics (AAP), mengemukakan pada kurun usia 1-3, anak sedang mengembangkan kemandirian dan ingin membuat pilihan sendiri tapi belum memiliki kemampuan untuk mengatasi rasa frustrasi ketika bertemu halangan. Erikson, seorang pakar perkembangan anak, juga mengemukakan dalam teorinya bahwa anak sedang mengembangkan autonomy dimana anak ingin mencoba melakukan semuanya atas kehendak dan aturannya sendiri. Anak akan membatasi intervensi dari luar dirinya termasuk larangan atau aturan dari orangtua. Anak akan muncul dengan perilaku tidak mau dibantu, tidak mau dilarang dan melakukan yang justru dilarang. Di sisi lain, anak belum siap jika menemui kegagalan atau keinginannya tidak terpenuhi, maka dari itulah muncul temper tantrum.
Bagaimana mencegahnya? Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pepatah ini juga berlaku dalam kaitannya dengan temper tantrum anak. Berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan orangtua untuk mencegah munculnya temper tantrum.
Bagaimana mengatasinya? Hal penting pertama yang harus diingat dan diterapkan oleh orangtua atau siapapun yang menghadapi anak ketika temper tantrum adalah tetap tenang. Kendati sulit untuk tidak terpancing, menjengkelkan dan seringkali membuat malu (kalau terjadi di tempat umum), temper tantrum tidak dapat diatasi dengan emosi tinggi. Jangan perkeruh suasana dengan rasa marah dan frustrasi kita sendiri. Apabila kita terpancing, tantrum anak akan semakin memburuk. Tenangkan diri dulu dengan ambil nafas panjang dan berpikirlah dengan tenang. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi temper tantrum pada saat kejadian.
Apa yang dilakukan atau dikatakan orangtua pada anak setelah tantrum usai, juga tak kalah penting dengan apa yang dilakukan pada saat kejadian tantrum. Setelah anak tenang, orangtua dapat mengajak anak bicara tentang apa yang baru saja terjadi. Berikut beberapa poin yang penting disampaikan pada anak:
Kapan perlu konsultasi dengan ahli?
Konsultasi pada ahli seperti dokter anak atau psikolog anak diperlukan apabila:
Ingatlah selalu bahwa temper tantrum merupakan satu batu loncatan yang normal dilewati dalam masa perkembangan anak. Bagaimana kita menyikapinya akan sangat menentukan sampai kapan temper tantrum ini berlangsung. Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi. Referensi: Stephen W. Garber, Ph.D, et al, Good Behavior Made Easy, Great Pond Publishing Ltd., 1992. Don Dinkmeyer, Sr., et al., Parenting Young Children, American Guidance Service, Inc., 1997. Arthur S. Reber, Dictionary of Psychology 2nd edition, Penguin Books, 1995. |
|
![]() |
||